Fotografi Setengah Hati

3 September 2015

another year, another change








kemarin afi sempat bilang.

"kamu berubah banget. perasaan dulu awal-awal kamu ngga pernah suka flowery pattern, warna-warna pastel, motif-motif kalem. kamu kenapa sih?"

"inget yang kamu milihin mukena buat aku sekitar setahun lalu, waktu itu aku sadar seleramu berubah"

saya tertawa.

"mungkin faktor usia" kata saya lepas



tapi memang, mungkin pada akhirnya kita bisa menjadi begitu berkebalikan dengan apa yang kita ketahui tentang kita dahulu. entah karena apa. lingkungan mungkin. perasaan yang menghalus. keadaan yang memaksa lebih kuat. apapun itu.


dan seperti yang afi bilang, entah sejak kapan saya begitu menyukai sesuatu berbau bunga-bunga.

sama seperti ketika kemarin seseorang membawakan sebuket bunga cantik ini untuk saya. ah, dia tidak akan pernah tahu betapa bahagianya saya.


PS :
1. No data exif untuk foto-foto di atas. semua saya ambil semalam dengan mode auto. menunggu cahaya pagi, sama saja membiarkan bunganya layu dan tidak fotogenik lagi
2. saya pikir awalnya ini bunga plastik, tidak tahunya asli <3 dan itu membuat saya semakin meleleh...
3. drama yang cocok untuk scene ini adalah I can hear your voice dan In need of romance (if u know what I mean)
4. Terima kasih, bunganya cantik.... <3 <3 <3

5 Agustus 2015

BNI dan Cinta Pertama





Sebenarnya saya merupakan nasabah “tua” BNI. Saya sudah memiliki rekening BNI sejak SMP Kelas 3, yang itu artinya 15 tahun yang lalu. Namun, saya bukan “orang tua” yang setia. Beberapa kali saya berganti rekening, dengan berbagai alasan, namun pada akhirnya kembali juga pada cinta pertama saya.

Rekening BNI pertama saya, saya dapat dari hadiah Lomba Menulis Surat yang diadakan PT. Pos Indonesia, Mojokerto. Memiliki rekening tabungan sendiri di usia sedini itu adalah hal yang luar biasa bagi saya kecil. Ketika pertama kali menerima buku tabungan, saya masih ingat benar, saya tidak bisa tidur. Berkali-kali saya buka rekening tabungan saya, takut kalau-kalau jumlahnya sewaktu-waktu bisa berkurang. Meskipun nominal yang saya terima waktu itu tidak terlalu besar (untuk masa sekarang) yaitu sebesar Rp 250.000,- (saya juara ke-dua), namun bagi anak kecil macam saya, memiliki rupiah dalam jumlah sekian banyak, tentu saja saya sudah merasa sebagai orang paling kaya se-Mojokerto. Hahaha..

Dari sana kemudian saya memiliki kegemaran baru. Menyisihkan berapapun uang yang saya dapat untuk bisa saya tabung. Sebenarnya waktu itu bukan jumlah yang membuat saya demikian bersemangat, namun perasaan ketika melakukan proses menabung itu yang tidak pernah bisa saya lupa.

Saya selalu menyukai aroma Bank BNI. Meskipun saya datang dengan sepeda pancal, dan tentu saja mengherankan anak sekecil saya sudah seliweran di bank sendirian, tapi satpam di sana selalu ramah. Mereka baik. Juga suasana di dalam bank itu sendiri. Kursi-kursi yang nyaman, nomor tunggu elektronik untuk antre yang pada waktu itu sudah sangat modern sekali (di bank lain pada masa itu, masih mengharuskan nasabahnya untuk berdiri mengantre di depan teller), juga permen yang tidak pernah saya lewatkan. Ya, maklumi saja, saya masih belum genap 14 tahun saat itu.. :)

Namun sayangnya, selepas SMP saya harus melego semua kesenangan sederhana itu. Tabungan saya akhirnya dipakai juga untuk kebutuhan lain yang lebih penting, masuk SMA.

Memang butuh waktu agak lama untuk kembali kepada cinta pertama. Terutama adanya halangan peraturan kantor yang mengharuskan karyawan memiliki satu rekening dari bank yang sama. Tapi kemudian, toh, yang namanya cinta juga akhirnya kembali juga. 

Sekitar hampir 2 tahun lalu saya memutuskan untuk kembali menjadi nasabah BNI. Saya membuka 2 rekening sekaligus, yaitu Taplus dan Tapenas. 

“Saya sebelumnya sudah pernah punya rekening BNI lo Mbak..” kata saya sembari menyelesaikan formulir pendaftaran waktu itu. Dan kemudian Mbak CS menginformasikan bahwa data seluruh nasabah BNI sudah ter-record, jadi data-data saya pasti masih ada. Dan benar saja, memang data saya 15 tahun yang lalu masih ada di database-nya. 

Jujur sebagai nasabah awam, menyenangkan sekali bahwa data kita masih tersimpan rapi. Perasaan diingat dan disimpan itu memang menyenangkan. Dan meskipun sekarang saya bukan nasabah BNI Mojokerto lagi, tapi aroma yang pernah saya rasakan ketika masih kecil dulu, rasanya masih tetap sama. Aroma ketulusan yang menyenangkan.


Pantas saja jika kemudian BNI mendapatkan banyak penghargaan, diantaranya tujuh penghargaan bergengsi dari total delapan ketegori kompetisi Contact Center World se-Asia Pasific di Singapura pada Juni 2014 lalu. Penghargaan yang didapat antara lain Peringkat Gold untuk Best Analyst, Best Contact Center Support Professional HR, Best Help Desk, dan Best in Customer Service

Sebenarnya masih banyak penghargaan lain yang diterima BNI kurun waktu terakhir. Namun mengetahui BNI mendapat penghargaan kelas dunia untuk layanan konsumen, bagi saya adalah hal yang tepat sekali, karena memang BNI benar-benar melayani negeri untuk kebanggan bangsa :)

Ah ya, dan tentu saja selain itu BNI sepertinya memang representasi dari cinta pertama yang tak pernah salah :)

 

1 Juli 2015

Apa kabar, Alf?

Jadi sebenarnya saya hanya malu terhadap diri saya sendiri. Saya sudah banyak membuat komitmen untuk foto, tapi tidak satupun saya lakukan.

Arggh! Tentu saja kambing hitamnya adalah jam kantor dan rasa lelah selepas bekerja. Tapi seharusnya itu tidak menjadi excuse sih. Berapa banyak fotografer yang punya profesi lain juga, dan mereka baik baik saja. Memang sayanya saja sih!

Ah ya, anyway saya ingin bercerita sedikit hal.

Jadi saya tergabung dalam 2 group fotografi via watsap. Satu grup ibuibu, satu grup bapakbapak.
Saya memang tidak seberapa aktif di keduanya. Tapi saya adalah penyimak yang baik yang berhasil membuat satu hipotesa luar biasa.

Jadi sebenarnya yang lebih boros dan lebih jorjoran urusan foto atau hobi pada umumnya sebenarnya adalah bapak bapak. Entah menurut saya mereka irian sekali. Dan tidak pernah mau kalah. Beli lensa satu, yang lainnya beli.. Iya kalau harganya seribu duaribu, jutaan! :| Dan sepertinya gampang saja mereka mengeluarkannya :|

Well, itu aja sih. Ilmu tak nambah, pengalaman tak nambah, hanya kemampuan gosip yang bertambah! Ah saya!

Ps :
Sebetulnya saya ingin sekali lensa fix baru, tripod baru dan props props baru. Tapi melihat mood swing saya yang sedemikiannya kok eman 😅 (pelit!).

11 Februari 2015

#100project #day1



Ini adalah homemade omelet dengan brokoli, wortel, tomat dan cabe tentu saja. Bawahnya gosong karena saya memang belum menguasai sepenuhnya ilmu membikin omelet ini.

Mengenai fotonya, am not really satisfied actually. Harusnya fokusnya lebih ke omeletnya, bukan pada wadahnya, meskipun saya justru menyenangi warna hijau pastel wadah ini. Dan ini adalah 1 dari 73 foto yang saya jepret hari ini. Harusnya lebih banyak, dan saya yakin pasti ada yang lebih bagus dari ini. Tapi karena saya sudah telat berangkat kerja, maka saya sudahi saja sesi pemotretan pagi.


f 5/6
1/3sec
ISO 100


An 100 Project


Awalnya adalah kesasar di blog ini dan mulai membaca part 1 sampai part 4-nya dengan seksama. Dia, Marius Vieth, orang yang sebelumnya memang sudah memotret dengan profesional dan menjalankan misi ambisiusnya, 365 project. Ya, 365 foto, setiap hari, dalam satu tahun.

Bagi saya itu ambisius. Berlebihan. Tapi dia berhasil melakukannya.

Dalam catatannya mengenai project ini, Marius sendiri mengatakan bahwa ini bukanlah hal yang mudah. Dia bekerja 9 jam sehari, dia pun harus menemui pacarnya, dia pun butuh waktu bersama keluarga, berlibur, dan macam-macam. Tapi kecintaan terhadap memotret itu sendiri memang mengalahkan segalanya. :)

Project ini pada akhirnya membawa Marius pada banyak kesempatan baru. Pada banyak perjalanan yang sebelumnya tidak pernah diduganya. Dan dengan bahasa sederhana saya, hidupnya banyak berubah paska 365 project-nya.

Namun demikian, bukan itu yang menginspirasi saya melakukan hal  yang sama.

Ini membuat saya merenungi, bahwa apa yang dirasakannya, saya rasakan juga. Apa yang dilaluinya pasti akan saya lalui juga.

Saya masih sampai pada tahap pertama. Tahap dimana saya merasa saya sangat ingin menenteng kamera saya kemanapun pergi. Memencet tombol rana, dan voila, sekali jadi hasilnya pasti langsung sempurna, dan saya tidak perlu lagi edit sana-sana hanya untuk menambahkan kesan wah. Saya juga sedang berada pada tahap dimana saya sedang asyik mengenali Alf dan semua hal yang dimilikinya. Juga bersemangat sekali ketika mempelajari hal-hal baru.

Marius, menuliskannya, seolah dia sedang berjalan dengan saya.

Tapi tentunya saya sadar diri juga. Saya adalah pemula kelas sudra yang baru memulai ini semua. Dan saya juga paham, seberapa pembosan saya ini. Maka itu, project ini saya ubah sedemikian rupa menjadi 100 project.

Saya akan mengambil sebanyak 100 foto untuk 100 hari (semoga bisa rajin setiap hari. Kalaupun tidak, jumlah harinya harus genap 100 hari). Tema foto adalah apapun. Bisa sepatu, bisa makanan, makanan dan makanan lagi. Atau sayuran, sayuran dan sayuran lagi. Dan saya usahakan sebisanya saya tidak menggunakan alat edit apapun, meskipun saya tetap harus mempelajari proses editing. Lalu, hasilnya akan saya publish di sini (ngga janji), di Instagram dan flickr saya.

Lalu target saya apa?

Bukan apa-apa. Saya hanya membayangkan betapa senangnya saya melihat progress memotret saya. Well, I'm sure it will.  :)


Ah ya, sebenarnya saya ingin menterjemahkan artikel si Marius, tapi ini sudah larut dan tangan saya sudaah malas mengetik. Later.. Saya pasti akan menterjemahkannya. Its good thing to share.


Ok. See u on my project, then :)




29 Januari 2015

Alf, Kuning dan Hijau


Saya jatuh cinta pada Alf -Alfred Hitchock- kamera saya, sejak pertama bertemu dengannya. Saya adalah tipikal pemilih, tapi ketika saya merasa cocok terhadap sesuatu, saya pasti segera kesampingkan logika dan kondisi dompet saya. Haha..

Alf, untuk kelas mirorless, termasuk golongan kamera sudra. Harganya di bawah 4 juta. Banyak yang bilang dia adalah produk gagal dari Sony. Beberapa bahkan tidak menyarankan untuk membelinya. Di samping karena body-nya yang nanggung untuk disebut mirrorless (body-nya hampir mirip kamera DSLR, di saat hampir semua produsen berlomba memproduksi body yang lebih kecil dan ramping). Sony, induknya sekalipun, menempatkan Alf (Sony Alpha 3000 - Sony ILCE 3000), di pilihan terakhir, karena jagoan Sony untuk kamera semi DSLR adalah seri Nex yang harganya jauh di atas Alf.

Namun Alf tetaplah cinta saya. Dengan masa kredit yang masih menyisakan 3 bulan lagi, saya baru sadar saya mendapatkan banyak keuntungan dengan membelinya. Saya mendapatkan free tas Digicam Sony yang lumayan tebal dan bagus, sangat (sepertinya masih bagus tas Alf daripada Lowepro, haha). Harga tas kamera sendiri untuk ukuran Alf, adalah sekitar 300-400 ribuan. Selain itu saya mendapat hand cap, yang ketika saya browsing kapan lalu harganya sekitar 155 ribuan. Juga kartu memory 16 giga, dimana biasanya distributor kamera hanya akan memberikan maksimal free 8 giga memory, itupun bisa dihitung jari yang bisa memberi bonus ini.

Tapi memang butuh waktu lama untuk bisa memahami Alf. Saya yang memang buta kamera harus berusaha keras memahami apa saja yang dimiliki Alf dan apa saja yang tidak serta bagaimana menyiasatinya. Selain itu, istilah-istilah fotografi dengan banyak logika cahaya yang membuat saya selalu gagal memahaminya, membuat proses saya untuk berhubungan baik dengan Alf terhambat.

Tapi hari ini, setelah saya bertarung menyelamatkan Alf dari serangan hujan Surabaya yang menggila beberapa hari terakhir, rasa cinta saya kepadanya semakin besar. Ada beberapa foto yang saya ambil kemarin pagi di Taman Prestasi yang membuat saya tersenyum bahagia melihatnyaa. Oke saya berlebihan, tapi sungguh, foto-foto ini membuat saya bahagia :) Warna favorit saya adalah kuning dan turunannya. Dan Alf berhasil memproduksi warna ini dengan sangat sempurna! :)


Foto ini sangat saya. Saya suka warna tangan saya yang memang seperti demikian itu sedari saya kecil, saya suka angle yang saya ambil, saya suka warna kuningnya, saya suka semuanya. Foto ini tanpa edit sama sekali, termasuk proses cropping pun tidak saya lakukan, hanya resolusi yang saya kecilkan agar tidak terlalu berat.

Warnanya sedikit gelap. Tapi menurut saya untuk lensa sejuta umat dan device sekelas Alf, ini cantik sekali.




Jangan perhatikan apapun kecuali jaket buluk yang serat kainnya sudah rusak di sana-sini, dan saya cinta setengah mati.




Warna kuningnya lebih cerah, hijaunya lebih cerah, tapi fokusnya ngga jelas. Jadi kalau kamera diarahkan ke matahari, warnanya jadi seperti ini. Tapi jika difokuskan ke bunga yang di tangan, hasilnya jadi sedikit merah.


hashtag Love


PS :

Saya benar-benar terpacu untuk belajar lebih banyak dan  mendalami Alf. Belajar tentang cahaya, komposisi, sudut pandang, dan tentu saja menstabilkan tangan saya agar tidak selalu bergoyang. Saya biasanya bersandar pada sesuatu atau ndeporok begitu saja di tanah, sementara Alf saya taruh di antara lutut agar dia lebih mantap dalam  menjalani hidupnya :|

Well, to be honest ini adalah hasil foto paling keren saya selama ini :))) Dan ini semua tanpa editan apapun, dan saya full menggunakan aperture priority (no auto), yang itu artinya adalah kemajuan. :))))



PS2 :

Well, maklumi saja, saya amatiran :)))



27 Januari 2015

#themasterchefeffect



Salahkan Chef Gordon Ramsey, koki kecil bernama Oona, Abby dan Logan. Mereka membuat saya mendadak jatuh cinta pada dapur dan tetek bengeknya. Ya, Gordon Ramsey berhasil membuat anak seusia 8 tahun (kelas 2 SD) bisa membuat makanan yang (nampaknya) demikian sophisticated-nya lengkap dengan plating yang luar biasa.


Nangka depan rumah




Ada makhluk yang lebih cantik dari ini? :)


PS:

Hampir semua foto diambil pake mode auto dengan gegayaan di sana-sini kecuali foto pertama dan terakhir.

Food photography itu nampaknya gampang, tapi susah sungguh, apalagi untuk tangan yang ngga perna ajeg kaya saya.




26 Desember 2014

Buku dan Harapan-harapan Tahun Baru seperti yang Lalu Lalu


Saya akan menshare beberapa buku yang tersimpan di kosan. Banyak di antaranya tidak habis saya baca. Ya, kemampuan membaca saya memang parah sekali sekarang.

Dan, ya! Ada selipan-selipan harapan, umpatan, makian dan kadang ingatan yang muncul begitu saja. Hanya saja, itu semua tidak perlu terlalu dipercaya.

Ah, ya, apa yang terpampang di sini, sebenarnya tidak lebih dari sepersekian ratus persen dari hasil jepretan saya yang lagi-lagi gagal! Entah kenapa susah sekali bagi saya untuk bisa fokus. Padahal sudah hampir 2 bulan saya mencoba mengakrabkan diri dengan Alfred Hitchock -nama kamera saya, tapi nampaknya dia terlalu sombong.


Beberapa sudah khatam berkali-kali sampai hafal, beberapa belum sama sekali tersentuh. Dan buku terakhir dalam tumpukan tersebut masuk dalam kategori belum (tidak) tersentuh. Judulnya : Menuju pernikahan :|





\



Buku ini adalah kado dari seseorang yang baru saja melahirkan putri kecilnya :) Saya sudah membaca buku ini sejak SMA dan saya memang ngotot ingin memilikinya. Buku ini yang membuat saya semakin cinta membaca novel, sempat membuat saya jatuh cinta menulis (meskipun saya sadar saya tidak punya bakat). Merangkum semuanya, buku ini adalah cinta pertama saya. Ah, ya, ornamen, warna kuning mbulak, serta tanda tangan dewi lestari adalah asli adanya. -Dia yang membelikan buku ini bahkan tidak tahu siapa Dewi Lestari itu :D


Apa ini semua? Pasar malam kasih sayang? Cinta diobral dan dicuci gudang? Yang kudamba juga sederhana. Bukan cinta antik dan berukiran rumit.

Jadi, apa yang saya damba pun sebenarnya sederhana.

saya masih membayangkan sosok yang nyaman jika saya ajak bicara, dan saya pun menyamankannya. dia yang memiliki frekuensi yang sama dengan saya dalam hal apapun. dia yang akan bersahutan mengomentari cemoohan-cemoohan saya dengan argumen lain, dan kemudian kami akan berdebat panjang tapi mengakhirinya dengan tawa karena kami paham, apa yang kami pertengkarkan hanya hal sepele yang sia-sia. dia yang tidak akan marah jika saya nonton drama korea bahkan mentertawakan saya yang sesenggukan melihat adegan menye-menye menyebalkan itu. dia yang mungkin paham arti kerlingan mata saya ketika saya melihat sepatu yang bagus meskipun ada berkardus-kardus sepatu yang belum saya pakai di rumah. dia yang akan saya buatkan teh hangat ketika sedang melakukan sesuatu yang disenanginya, kemudian bertanya ini itu dan membuatnya jengkel karena telah mengganggunya. dia yang akan tetap membiarkan saya bekerja. dia yang dengannya masalah finansial adalah hal rasional yang harus dipecahkan bersama. dia yang paham benar arti kata tanggung jawab dan menjadi pemimpin atau paling tidak dia yang sedang menuju dan terus berusaha mencapai ke sana. dia dan saya yang merupakan objek dari kata kerja resiprokal, sesuatu yang berbalasan, beriringan, saling mengisi maupun mengurangi apapun yang berlebih.


dia yang akan bersyukur memiliki saya. dan saya yang akan bersyukur memiliki dia. pun keluarganya. pun keluarga saya.

sesederhana itu.



Ya. Tapi tuhan memang kadang maha tidak romantis.

Tuhan maha romantis, maha tidak romantis, tapi tetap maha romantis jika kita menganggap ketidakromantisan adalah romantis dalam bentuk lain.



Dan ini adalah salah satu fragmen dalam buku Dewi Lestari yang lain. Dari buku Rectoverso, bagian ini menceritakan tentang seseorang yang ingin berpisah baik-baik karena dia merasa sudah tidak menemukan apapun dari kekasih (suami) nya. Well, saya menganggap ini adalah ungkapan hati Dee ketika dia memutuskan berpisah dengan Marcell. Tapi apapun itu, pelukan kadang adalah obat atas segala macam keluhan atas banyak ketidakmengertian akan hidup.





23 Desember 2014

Moon stone




to be honest, foto ini adalah editan keras. sampai hampir jam 12 malam saya menghabiskan baterai kamera saya hanya supaya bisa menampilkan cahaya batu bulan yang katanya indah itu. dan dari ratusan jepretan, none of it was good.

awalnya adalah seorang teman yang mempost tentang batu bulan. dan saya ingat bahwa saya memiliki (memaksa memiliki) satu. dengan rangka cincin yang berat dan bahannya buruk, sehingga hampir bisa dipastikan saya tidak pernah memakai cincin berbatu bulan yang konon katanya mahal itu.

ah ya, dan dia yang batunya saya rebut paksa, ternyata beberapa saat lalu mempost beberapa kalimat yang rangkaiannya saya yakin dia contek habis-habisan dari blog ini.

well, am a trendsetter. I am! (mangkel sangat!)





11 Desember 2014

Blind Spot



Saya sedang mendengarkan Tulus (laki-laki dengan ketuaan usia saya dan saya nge-fans padanya!) dengan Bumerang-nya


Dia biarkan ku jatuh cinta
lalu dia pergi seenaknya
dihantui ragu tapi tak peduli
gegabah jadi alasannya


pandangan yang takkan kulupa
lama sudah aku tak punya
lalu dia pergi menunggu di paksa
dirayu untuk bicara


Reff:
sudah jauh kini
aku berjalan tinggalkan dirimu
tak ku lihat lagi apa yang membutakan ragamu


sementara kau sibuk dengan permainanmu
dengan hati yang lain, nama yang lain
sibuk merakit bumerang tuk menyerangmu
berbalik menyerangmu


Dia bilang telah salah langkah
kekaguman keliru arah
puisi dan lagu yang sering ku tulis
hanya itu yang dia mau

tapi hati...
Diberdayakan oleh Blogger.