Fotografi Setengah Hati

26 Desember 2014

Buku dan Harapan-harapan Tahun Baru seperti yang Lalu Lalu


Saya akan menshare beberapa buku yang tersimpan di kosan. Banyak di antaranya tidak habis saya baca. Ya, kemampuan membaca saya memang parah sekali sekarang.

Dan, ya! Ada selipan-selipan harapan, umpatan, makian dan kadang ingatan yang muncul begitu saja. Hanya saja, itu semua tidak perlu terlalu dipercaya.

Ah, ya, apa yang terpampang di sini, sebenarnya tidak lebih dari sepersekian ratus persen dari hasil jepretan saya yang lagi-lagi gagal! Entah kenapa susah sekali bagi saya untuk bisa fokus. Padahal sudah hampir 2 bulan saya mencoba mengakrabkan diri dengan Alfred Hitchock -nama kamera saya, tapi nampaknya dia terlalu sombong.


Beberapa sudah khatam berkali-kali sampai hafal, beberapa belum sama sekali tersentuh. Dan buku terakhir dalam tumpukan tersebut masuk dalam kategori belum (tidak) tersentuh. Judulnya : Menuju pernikahan :|





\



Buku ini adalah kado dari seseorang yang baru saja melahirkan putri kecilnya :) Saya sudah membaca buku ini sejak SMA dan saya memang ngotot ingin memilikinya. Buku ini yang membuat saya semakin cinta membaca novel, sempat membuat saya jatuh cinta menulis (meskipun saya sadar saya tidak punya bakat). Merangkum semuanya, buku ini adalah cinta pertama saya. Ah, ya, ornamen, warna kuning mbulak, serta tanda tangan dewi lestari adalah asli adanya. -Dia yang membelikan buku ini bahkan tidak tahu siapa Dewi Lestari itu :D


Apa ini semua? Pasar malam kasih sayang? Cinta diobral dan dicuci gudang? Yang kudamba juga sederhana. Bukan cinta antik dan berukiran rumit.

Jadi, apa yang saya damba pun sebenarnya sederhana.

saya masih membayangkan sosok yang nyaman jika saya ajak bicara, dan saya pun menyamankannya. dia yang memiliki frekuensi yang sama dengan saya dalam hal apapun. dia yang akan bersahutan mengomentari cemoohan-cemoohan saya dengan argumen lain, dan kemudian kami akan berdebat panjang tapi mengakhirinya dengan tawa karena kami paham, apa yang kami pertengkarkan hanya hal sepele yang sia-sia. dia yang tidak akan marah jika saya nonton drama korea bahkan mentertawakan saya yang sesenggukan melihat adegan menye-menye menyebalkan itu. dia yang mungkin paham arti kerlingan mata saya ketika saya melihat sepatu yang bagus meskipun ada berkardus-kardus sepatu yang belum saya pakai di rumah. dia yang akan saya buatkan teh hangat ketika sedang melakukan sesuatu yang disenanginya, kemudian bertanya ini itu dan membuatnya jengkel karena telah mengganggunya. dia yang akan tetap membiarkan saya bekerja. dia yang dengannya masalah finansial adalah hal rasional yang harus dipecahkan bersama. dia yang paham benar arti kata tanggung jawab dan menjadi pemimpin atau paling tidak dia yang sedang menuju dan terus berusaha mencapai ke sana. dia dan saya yang merupakan objek dari kata kerja resiprokal, sesuatu yang berbalasan, beriringan, saling mengisi maupun mengurangi apapun yang berlebih.


dia yang akan bersyukur memiliki saya. dan saya yang akan bersyukur memiliki dia. pun keluarganya. pun keluarga saya.

sesederhana itu.



Ya. Tapi tuhan memang kadang maha tidak romantis.

Tuhan maha romantis, maha tidak romantis, tapi tetap maha romantis jika kita menganggap ketidakromantisan adalah romantis dalam bentuk lain.



Dan ini adalah salah satu fragmen dalam buku Dewi Lestari yang lain. Dari buku Rectoverso, bagian ini menceritakan tentang seseorang yang ingin berpisah baik-baik karena dia merasa sudah tidak menemukan apapun dari kekasih (suami) nya. Well, saya menganggap ini adalah ungkapan hati Dee ketika dia memutuskan berpisah dengan Marcell. Tapi apapun itu, pelukan kadang adalah obat atas segala macam keluhan atas banyak ketidakmengertian akan hidup.





1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.